“Oh, Tuhan, aku mengampuni mereka yang melakukan hal ini padaku,” kataku kesal sambil memegangi rok belakangku.
“Kenapa bisa sampai tidak mengetahuinya?” tanya Green.
“Kan aku tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi padaku,” kataku. “Lagipula saat aku melihat kuriku tak ada yang aneh. Dan lem yang mereka gunakan benar-benar tak terlihat oleh mataku.”
“Keanne, biarkan aku menghajar orang-orang yang melakukan hal ini padamu,” kata Brenda.
“Jangan, Brenda,” pintaku. “Biarkan saja. Kalau mereka sudah sangat keterlaluan, dan aku merasa tidak tahan lagi, kau baru boleh menghajar mereka.”
“Masa tidak ada yang memberitahumu? Apa jangan-jangan mereka semua bersekongkol untuk mengerjaimu?” duga Mandy.
“Entahlah,” aku mengangkat bahuku. “Aku tidak mau memikirkannya lagi.”
“Kalau begitu, cepat masuk ke mobil,” kata Brenda yang sudah menyalakan mesin mobilnya.
***
Besoknya, aku membawa seragam cadangan. Kurasa, mereka akan mengerjaiku lagi hari ini.
“Kenapa pintu ini ditutup ya?” aku terkejut saat melihat pintu kelasku tertutup. “Kata Pak Owen pelajaran tambahan pagi kan dimulai minggu depan? Lagipula pelajaran tambahan kan hanya pada hari Senin dan Jumat, sedangkan ini hari Selasa. Apa ada perubahan?”
Aku mengintip melalui kaca kecil yang ada di pintu. Tak ada guru dan baru ada beberapa anak di dalam sana. Akupun memutuskan untuk langsung masuk.
Byuur!
Seember air dingin jatuh di kepalaku saat aku membuka pintu. Sekujur tubuhku pun menjadi basah kuyup seketika.
“Oh Tuhan,” aku menutup mataku sekejap dan membukanya kembali sambil menyeka wajahku.
Ketika aku memperhatikan para siswa laki-laki yang ada di dalam kelas satu per satu, mereka semua mengangkat kedua tangannya seolah ingin membuktikan bahwa mereka tidak melakukan hal itu. Dan kurasa, memang bukan mereka pelakunya.
Aku pun masuk ke kelas dengan rambutku yang masih basah. Saat aku masuk, kelas sudah dipenuhi dengan para siswa dan siswi. Mereka tak berkomentar dan tak tertawa sedikit pun.
“Kau baik-baik saja kan?” tanya Kyle.
Aku mengangguk. “Tak usah hiraukan aku. Aku baik-baik saja,” kataku kesal.
The BEST (Chapter 3)
Jam istirahat tiba. Aku berawas-awas kalau-kalau apa yang Kyle katakan benar. Mungkin saja dia benar kalau para siswi akan mengeroyokku.
Tapi, tak ada tanda-tanda dari mereka. Semua berjalan normal-normal saja. Karena itu, aku mengabaikan kata-kata Kyle. Kurasa, dia memang berlebihan. Dia hanya ingin mengerjaiku.
Saat aku keluar dari kelas, rupanya Green, Mandy dan Brenda sudah menunggu.
“Bagaimana keadaan kelasmu?” tanya Green.
“Menegangkan,” jawabku.
“Apa maksudmu?” tanya Mandy.
“Aku duduk sebangku dengan seorang anak laki-laki. Dia berkata padaku agar aku selalu berawas-awas terhadap para siswi di kelasku karena kebanyakan dari mereka yang merasa iri padaku. Katanya, mereka iri padaku karena banyak siswa yang menyukaiku karena prestasiku. Dan anehnya, apa yang dia katakan itu benar. Kejadiannya saat Pak Owen, wali kelasku melakukan absensi, tepatnya saat giliranku dipanggil, semua mata dalam kelasku tertuju padaku,” jelasku.
“Masa sampai begitu, sih?” tanya Mandy seolah tak percaya.
“Ya, kurasa, Mandy juga cantik, tapi tidak berlebihan seperti yang kau ceritakan,” sela Brenda.
“Apa kalian tidak percaya akan perkataanku? Aku tidak bohong,” aku meyakinkan. “Oh, ya. Kyle juga berkata bahwa corak Asia-ku berpengaruh.”
“Apa? Mentang-mentang kau adalah anak yang satu-satunya berketurunan Asia, mereka pikir dapat mengerjaimu?” Brenda mulai geram. “Siapa yang berani mengganggu temanku akan kuhajar habis!”
Semua mata di sekeliling kami, menatap tajam saat mendengar seruan Brenda.
“Brenda, hentikan itu!” pintaku sambil berbisik.
“Tenang saja, Keanne. Aku melakukannya agar mereka tak berani mengganggumu,” kata Brenda. “Panggil saja aku kalau ada yang berani mengganggumu.”
“Brenda, aku tahu kau sayang padaku sebagai temanmu. Tapi kumohon jangan lakukan hal seperti itu lagi karena kau membuatku terlihat lemah di hadapan mereka,” kataku.
“Baiklah. Maafkan aku, Keanne,” Brenda berusaha menahan geramnya.
“Tak apa. Terima kasih untuk pembelaanmu, teman,” kataku.
“Tahu tidak teman-teman? Kita sudah menghabiskan jam istirahat disini. Dan kita tidak jadi ke kantin,” kata Green dengan senyumnya yang manis itu. “Padahal aku kan lapar.”
“Iya, aku juga haus,” sambung Mandy.
“Maafkan aku teman-teman,” kataku. “Gara-gara aku kalian kelaparan.”
“Sudahlah. Demi kau, kami bersedia melakukan apa saja. Kau kan teman kami, iya tidak, teman-teman?” kata Mandy. “And ‘cause we are…”
“THE BEST FOREVER!” kami menyatukan tangan kami dan menghentakkannya ke bawah, seperti yang biasa kami lakukan.
“Okay, kami kembali ke kelas kami ya,” kata Green. “See you.”
“See you,” aku membalas lambaian tangan mereka bertiga.
“Wah, kompak sekali kalian,” kata Kyle saat aku akan berjalan masuk ke kelas.
“Tentu saja!” sahutku riang. “Dan aku mendahuluimu ke tempat duduk!”
Aku berlari mendahuluinya dan duduk di kursiku.
“Na na na na,” aku bersenandung.
Kudengar, beberapa suara berbisik-bisik. Dan kudengar lagi ada tawa-tawa kecil di sekelilingku. Untuk beberapa saat aku berhenti bersenandung. Aku mengamati mereka satu per satu. Tak ada yang mencurigakan. Aku pun kembali bersenandung.
Lama kelamaan, aku merasa tidak enak. Ada sesuatu yang aneh.
“Hey, ada apa? Kenapa kau tampak gelisah?” tanya Kyle.
“Kurasa ada sesuatu yang aneh di kursiku,” aku menduga-duga.
Aku pun mencoba berdiri. Tapi…
“Mmhh! Sulit,” aku mencoba meraih bagian bawah rokku. Jantungku terasa berhenti seketika. “Tidak mungkin.”
“Ada apa?” tanya Kyle.
“Kurasa rokku menempel di kursi,” jawabku.
Kyle tertawa.
“Kenapa tertawa?” tanyaku. “Apa memang benar rokku menempel?”
“Ya,” jawabnya. “Dan kurasa pertempuran sudah dimulai.”
“Apa maksudmu?”
Kyle terus tertawa.
“Jangan tertawa terus. Sekarang bantu aku melepaskan rokku dari kursi,” pintaku pada Kyle. “Huh, rasanya seperti di dalam film-film saja! Mereka tidak kreatif! Bisanya hanya seperti ini! Dasar anak-anak kurang kerjaan!”
Kyle pun membantuku melepaskan rokku dari kursi. Sementara itu, mulutku rasanya belum bisa berhenti untuk mengeluh. Tapi akhirnya, dengan bersusah payah, rokku pun terlepas dari kursi.
Aku mencoba melihat seluruh rokku bagian belakang. “Yah, rokku kotor sekali,” keluhku.
“Untung saja belum ada guru yang masuk. Sekarang lebih baik kau membersihkan rokmu,” kata Kyle.
“Kau benar,” aku pun berjalan keluar kelas, sementara seluruh anak dalam kelas menertawaiku.
Tapi, tak ada tanda-tanda dari mereka. Semua berjalan normal-normal saja. Karena itu, aku mengabaikan kata-kata Kyle. Kurasa, dia memang berlebihan. Dia hanya ingin mengerjaiku.
Saat aku keluar dari kelas, rupanya Green, Mandy dan Brenda sudah menunggu.
“Bagaimana keadaan kelasmu?” tanya Green.
“Menegangkan,” jawabku.
“Apa maksudmu?” tanya Mandy.
“Aku duduk sebangku dengan seorang anak laki-laki. Dia berkata padaku agar aku selalu berawas-awas terhadap para siswi di kelasku karena kebanyakan dari mereka yang merasa iri padaku. Katanya, mereka iri padaku karena banyak siswa yang menyukaiku karena prestasiku. Dan anehnya, apa yang dia katakan itu benar. Kejadiannya saat Pak Owen, wali kelasku melakukan absensi, tepatnya saat giliranku dipanggil, semua mata dalam kelasku tertuju padaku,” jelasku.
“Masa sampai begitu, sih?” tanya Mandy seolah tak percaya.
“Ya, kurasa, Mandy juga cantik, tapi tidak berlebihan seperti yang kau ceritakan,” sela Brenda.
“Apa kalian tidak percaya akan perkataanku? Aku tidak bohong,” aku meyakinkan. “Oh, ya. Kyle juga berkata bahwa corak Asia-ku berpengaruh.”
“Apa? Mentang-mentang kau adalah anak yang satu-satunya berketurunan Asia, mereka pikir dapat mengerjaimu?” Brenda mulai geram. “Siapa yang berani mengganggu temanku akan kuhajar habis!”
Semua mata di sekeliling kami, menatap tajam saat mendengar seruan Brenda.
“Brenda, hentikan itu!” pintaku sambil berbisik.
“Tenang saja, Keanne. Aku melakukannya agar mereka tak berani mengganggumu,” kata Brenda. “Panggil saja aku kalau ada yang berani mengganggumu.”
“Brenda, aku tahu kau sayang padaku sebagai temanmu. Tapi kumohon jangan lakukan hal seperti itu lagi karena kau membuatku terlihat lemah di hadapan mereka,” kataku.
“Baiklah. Maafkan aku, Keanne,” Brenda berusaha menahan geramnya.
“Tak apa. Terima kasih untuk pembelaanmu, teman,” kataku.
“Tahu tidak teman-teman? Kita sudah menghabiskan jam istirahat disini. Dan kita tidak jadi ke kantin,” kata Green dengan senyumnya yang manis itu. “Padahal aku kan lapar.”
“Iya, aku juga haus,” sambung Mandy.
“Maafkan aku teman-teman,” kataku. “Gara-gara aku kalian kelaparan.”
“Sudahlah. Demi kau, kami bersedia melakukan apa saja. Kau kan teman kami, iya tidak, teman-teman?” kata Mandy. “And ‘cause we are…”
“THE BEST FOREVER!” kami menyatukan tangan kami dan menghentakkannya ke bawah, seperti yang biasa kami lakukan.
“Okay, kami kembali ke kelas kami ya,” kata Green. “See you.”
“See you,” aku membalas lambaian tangan mereka bertiga.
“Wah, kompak sekali kalian,” kata Kyle saat aku akan berjalan masuk ke kelas.
“Tentu saja!” sahutku riang. “Dan aku mendahuluimu ke tempat duduk!”
Aku berlari mendahuluinya dan duduk di kursiku.
“Na na na na,” aku bersenandung.
Kudengar, beberapa suara berbisik-bisik. Dan kudengar lagi ada tawa-tawa kecil di sekelilingku. Untuk beberapa saat aku berhenti bersenandung. Aku mengamati mereka satu per satu. Tak ada yang mencurigakan. Aku pun kembali bersenandung.
Lama kelamaan, aku merasa tidak enak. Ada sesuatu yang aneh.
“Hey, ada apa? Kenapa kau tampak gelisah?” tanya Kyle.
“Kurasa ada sesuatu yang aneh di kursiku,” aku menduga-duga.
Aku pun mencoba berdiri. Tapi…
“Mmhh! Sulit,” aku mencoba meraih bagian bawah rokku. Jantungku terasa berhenti seketika. “Tidak mungkin.”
“Ada apa?” tanya Kyle.
“Kurasa rokku menempel di kursi,” jawabku.
Kyle tertawa.
“Kenapa tertawa?” tanyaku. “Apa memang benar rokku menempel?”
“Ya,” jawabnya. “Dan kurasa pertempuran sudah dimulai.”
“Apa maksudmu?”
Kyle terus tertawa.
“Jangan tertawa terus. Sekarang bantu aku melepaskan rokku dari kursi,” pintaku pada Kyle. “Huh, rasanya seperti di dalam film-film saja! Mereka tidak kreatif! Bisanya hanya seperti ini! Dasar anak-anak kurang kerjaan!”
Kyle pun membantuku melepaskan rokku dari kursi. Sementara itu, mulutku rasanya belum bisa berhenti untuk mengeluh. Tapi akhirnya, dengan bersusah payah, rokku pun terlepas dari kursi.
Aku mencoba melihat seluruh rokku bagian belakang. “Yah, rokku kotor sekali,” keluhku.
“Untung saja belum ada guru yang masuk. Sekarang lebih baik kau membersihkan rokmu,” kata Kyle.
“Kau benar,” aku pun berjalan keluar kelas, sementara seluruh anak dalam kelas menertawaiku.
The BEST (Chapter 2)
“Sampai bertemu saat istirahat ya!” kataku.
Hari ini adalah hari pertama di kelas sebelas. Aku terpisah dari Green, Mandy dan Brenda. Mereka berada di kelas XI B dan aku berada di kelas XI A.
“Hai,” sapaku pada seorang anak laki-laki yang menjadi teman sebangkuku.
“Hai,” balasnya. “Rupanya kau tak sekelas dengan teman-temanmu ya?”
“Oh, ya benar. Tapi itu bukan suatu masalah bagiku. Walau mereka sekarang tak sekelas denganku, aku akan terus bersama-sama dengan mereka,” jelasku.
“Benarkah? Kau tak takut seluruh gadis dalam kelas ini akan memusuhimu saat mereka tahu bahwa mereka sekelas dengan kau?” tanyanya. “Kau tahu kan kalau banyak gadis dalam sekolah ini iri padamu?”
“Oh, ya? Mereka iri? Kenapa?” tanyaku.
“Kukira kau ini pintar, namun rupanya aku salah,” dia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mereka iri karena banyak anak laki-laki yang menyukaimu, karena keahlianmu dalam musik! Ditambah dengan darah Asia yang mengalir dalam tubuhmu!”
“Mereka kan tak harus begitu. Mereka pasti punya keahlian masing-masing, yang membuat para lelaki terpesona. Itu pun kalau alasan mereka adalah laki-laki. Lagipula kalau aku gadis berdarah Asia, apakah itu salah?” kataku. “Ah, lebih baik kita hentikan percakapan yang tidak jelas ini. Aku Keanne. Kau?”
“Kyle,” jawabnya. “Senang berkenalan denganmu.”
“Aku juga,”
Tiba-tiba seluruh kelas menjadi hening saat melihat guru tergalak dalam sekolah ini masuk ke kelas kami. Pak Owen, guru matematika kelas dua belas, rupanya yang menjadi wali kelas kami.
“Selamat pagi anak-anak,” sapa Pak Owen.
“Selamat pagi, Pak,”
“Baiklah anak-anak. Perkenalkan, aku Pak Owen, dan akulah yang menjadi wali kelas kalian,” katanya. “Sekarang aku akan memanggil kalian satu per satu.”
Satu per satu anak-anak dalam kelas ini dipanggil. Sampai tiba giliranku.
“Keanne Blamington,” Pak Owenmenyebutkan namaku.
“Saya, Pak” aku mengacungkan tanganku.
Tiba-tiba saja aku tersentak seolah sebuah batu besar baru saja dilemparkan padaku, saat semua pasang mata dalam kelas ini tertuju padaku. Benarlah kata Kyle. Seluruh siswa memandangku dengan senang, sementara banyak siswi memperlihatkan wajah tidak suka saat melihatku.
“Oh, selamat datang di kelas XI A, Keanne,” kata Pak Owen senang saat melihatku.
“Terima kasih banyak, Pak Owen,” kataku.
“Jangan lupa, bulan depan ada kejuaraan musik di Hawaii, kau harus bersiap mulai dari sekarang,” kata Pak Owen.
“Baik, Pak,” kataku.
“Bobby Underwood,” Pak Owen melanjutkan.
Tak ada yang mengacungkan tangan.
“Bobby Underwood!”
“Saya, Pak!” seru seseorang dari pintu kelas.
“Mengapa kau terlambat?” tanya Pak Owen marah.
“S..saya..saya..,”
“Kau ini, hari pertama saja sudah tidak disiplin, bagaimana nantinya?” bentak Pak Owen. “Sekarang, berdiri di luar!”
“Tunggu, Pak,” aku berdiri. “Tolong maafkan dia, Pak. Ini kan baru hari pertama. Mungkin dia tidak bermaksud begitu. Mungkin ada sesuatu hal yang mendesak yang membuatnya terlambat. Kita semua kan tidak tahu. Saya mohon maafkan dia, Pak.”
“Baiklah. Sekarang aku mau bertanya padamu, Bobby. Mengapa kau terlambat?” tanya Pak Owen.
“Mobil papa saya tidak bisa berjalan saat berada di depan taman kanak-kanak St. Louis, Pak. Jadi saya berjalan dari sana sampai kemari,” jelasnya.
“Sejauh itu? Baiklah, alasanmu kuterima. Silakan duduk,” kata Pak Owen. “Berterima kasihlah pada Keanne. Kalau bukan karena dia, kau akan tetap kuhukum.”
Bobby pun duduk. Pak Owen melanjutkan kembali untuk mengabsen anak-anak.
Sejujurnya aku merasa kurang senang dengan apa yang Pak Owen lakukan. Dengan pujian-pujian yang dilontarkannya padaku, aku takut kalau-kalau seluruh siswi kelas ini semakin tidak menyukaiku.
“Bersiaplah, Keanne. Sebentar lagi seluruh siswi di kelas ini akan mengeroyokmu,” kata Kyle.
“Hey, jangan coba-coba menakut-nakutiku, ya,” kataku.
Hari ini adalah hari pertama di kelas sebelas. Aku terpisah dari Green, Mandy dan Brenda. Mereka berada di kelas XI B dan aku berada di kelas XI A.
“Hai,” sapaku pada seorang anak laki-laki yang menjadi teman sebangkuku.
“Hai,” balasnya. “Rupanya kau tak sekelas dengan teman-temanmu ya?”
“Oh, ya benar. Tapi itu bukan suatu masalah bagiku. Walau mereka sekarang tak sekelas denganku, aku akan terus bersama-sama dengan mereka,” jelasku.
“Benarkah? Kau tak takut seluruh gadis dalam kelas ini akan memusuhimu saat mereka tahu bahwa mereka sekelas dengan kau?” tanyanya. “Kau tahu kan kalau banyak gadis dalam sekolah ini iri padamu?”
“Oh, ya? Mereka iri? Kenapa?” tanyaku.
“Kukira kau ini pintar, namun rupanya aku salah,” dia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mereka iri karena banyak anak laki-laki yang menyukaimu, karena keahlianmu dalam musik! Ditambah dengan darah Asia yang mengalir dalam tubuhmu!”
“Mereka kan tak harus begitu. Mereka pasti punya keahlian masing-masing, yang membuat para lelaki terpesona. Itu pun kalau alasan mereka adalah laki-laki. Lagipula kalau aku gadis berdarah Asia, apakah itu salah?” kataku. “Ah, lebih baik kita hentikan percakapan yang tidak jelas ini. Aku Keanne. Kau?”
“Kyle,” jawabnya. “Senang berkenalan denganmu.”
“Aku juga,”
Tiba-tiba seluruh kelas menjadi hening saat melihat guru tergalak dalam sekolah ini masuk ke kelas kami. Pak Owen, guru matematika kelas dua belas, rupanya yang menjadi wali kelas kami.
“Selamat pagi anak-anak,” sapa Pak Owen.
“Selamat pagi, Pak,”
“Baiklah anak-anak. Perkenalkan, aku Pak Owen, dan akulah yang menjadi wali kelas kalian,” katanya. “Sekarang aku akan memanggil kalian satu per satu.”
Satu per satu anak-anak dalam kelas ini dipanggil. Sampai tiba giliranku.
“Keanne Blamington,” Pak Owenmenyebutkan namaku.
“Saya, Pak” aku mengacungkan tanganku.
Tiba-tiba saja aku tersentak seolah sebuah batu besar baru saja dilemparkan padaku, saat semua pasang mata dalam kelas ini tertuju padaku. Benarlah kata Kyle. Seluruh siswa memandangku dengan senang, sementara banyak siswi memperlihatkan wajah tidak suka saat melihatku.
“Oh, selamat datang di kelas XI A, Keanne,” kata Pak Owen senang saat melihatku.
“Terima kasih banyak, Pak Owen,” kataku.
“Jangan lupa, bulan depan ada kejuaraan musik di Hawaii, kau harus bersiap mulai dari sekarang,” kata Pak Owen.
“Baik, Pak,” kataku.
“Bobby Underwood,” Pak Owen melanjutkan.
Tak ada yang mengacungkan tangan.
“Bobby Underwood!”
“Saya, Pak!” seru seseorang dari pintu kelas.
“Mengapa kau terlambat?” tanya Pak Owen marah.
“S..saya..saya..,”
“Kau ini, hari pertama saja sudah tidak disiplin, bagaimana nantinya?” bentak Pak Owen. “Sekarang, berdiri di luar!”
“Tunggu, Pak,” aku berdiri. “Tolong maafkan dia, Pak. Ini kan baru hari pertama. Mungkin dia tidak bermaksud begitu. Mungkin ada sesuatu hal yang mendesak yang membuatnya terlambat. Kita semua kan tidak tahu. Saya mohon maafkan dia, Pak.”
“Baiklah. Sekarang aku mau bertanya padamu, Bobby. Mengapa kau terlambat?” tanya Pak Owen.
“Mobil papa saya tidak bisa berjalan saat berada di depan taman kanak-kanak St. Louis, Pak. Jadi saya berjalan dari sana sampai kemari,” jelasnya.
“Sejauh itu? Baiklah, alasanmu kuterima. Silakan duduk,” kata Pak Owen. “Berterima kasihlah pada Keanne. Kalau bukan karena dia, kau akan tetap kuhukum.”
Bobby pun duduk. Pak Owen melanjutkan kembali untuk mengabsen anak-anak.
Sejujurnya aku merasa kurang senang dengan apa yang Pak Owen lakukan. Dengan pujian-pujian yang dilontarkannya padaku, aku takut kalau-kalau seluruh siswi kelas ini semakin tidak menyukaiku.
“Bersiaplah, Keanne. Sebentar lagi seluruh siswi di kelas ini akan mengeroyokmu,” kata Kyle.
“Hey, jangan coba-coba menakut-nakutiku, ya,” kataku.
The BEST (Chapter 1)
“Hey, teman-teman! Sini! Main yuk!” seruku.
“Tapi aku lupa bawa topiku!”
“Sudahlah, tak usah kembali lagi, kelamaan! Nih, pakai saja topiku!” kataku.
“Lalu kau?”
“Tak usah pikirkan aku. Aku tak masalah kepanasan!” jelasku.
“Hey, Keanne, kemarilah! Aku menemukan sesuatu yang aneh disini!”
Itulah aku, Keanne Blamington. Teman-temanku memanggilku Keanne atau Keanny. Aku berambut hitam kecoklatan pendek dan berkulit kuning. Aku satu-satunya yang berketurunan Asia. Aku seorang gadis remaja berusia enam belas tahun yang sebentar lagi akan menikmati masa-masa dimana kebanyakan orang menyebutnya masa yang paling indah, “Sweet Seventeen”.
Aku tinggal di daerah pinggir pantai dengan lingkungan yang bersih dan menyejukkan. Aku tinggal bersama tiga gadis remaja seumuranku yang menyenangkan. Walau letak rumah kami berjauhan, kami selalu pergi bersama-sama.
“Apa yang kau temukan, Green?” tanyaku.
“Kerang hijau!” sahut Green.
Green adalah seorang gadis remaja berambut coklat keemasan lurus yang tak pernah cemberut. Selalu ada tawa di wajahnya. Nama aslinya adalah Pauline Bradley. Namun karena dalam segala hal ia selalu menyangkut pautkan warna hijau, Green menjadi nama sebutannya.
“Ah, itu hanyalah kerangka kerang yang diselimuti lumut tahu!” kata Mandy, si Centil.
Mandy, Mandy Pawlowski. Seorang gadis berambut pirang panjang bergelombang yang selalu membawa kipas di tangannya. Dia tidak mau sampai berpenampilan buruk. Walau begitu, dia adalah yang paling cerdas. Maka dari itu, kami menyebutnya si Centil, Cerdas walau Centil.
“Oh, ya, Keanne, terima kasih buat topinya ya,” kata Mandy.
“Iya, karena kau, Keanne jadi kepanasan,” kata Brenda.
Brenda McKay. Gadis berambut keemasan, tinggi dan putih. Dia yang selalu membelaku apabila ada yang menggangguku di sekolah. Dia dikenal sebagai “gangster girl” di sekolah. Jadi tak seorangpun berani melawannya.
“Sudahlah, aku baik-baik saja, Brenda. Jangan kau buat Mandy menangis lagi seperti kemarin,” pintaku. “Dia memang manja, tapi dia tak bermaksud begitu.”
Mandy dan Brenda selalu saja berselisih paham. Tapi bukan berarti mereka tak pernah kompak. Dalam hal makanan dan anak-anak, mereka yang paling kompak. Keduanya sama-sama menyukai makanan yang manis pedas dan sama-sama suka anak-anak. Memang hal yang agak aneh, walau Brenda terlihat garang, tapi dia selalu lembut pada anak-anak.
Itulah kami The Best. Aku, Keanne, adalah yang terbaik dalam musik. Aku sering memenangkan piala dalam kejuaraan-kejuaraan musik dimana pun sekolah mengirimku. Green, yang terbaik dalam ilmu pengetahuan alam. Dialah yang selalu dikirim dalam “Science Olympiad”. Mandy, yang terbaik dalam fashion. Dialah pemenang kejuaraan model berturut-turut selama lima tahun terakhir. Dan yang terakhir, Brenda. Dia yang terbaik dalam olahraga basket. Dialah yang menjadi maskot sekolah kami.
Kami bersekolah di Senior High School State New York. Kami selalu berangkat sekolah dengan mobil Brenda ? dan tentu saja Brenda yang menyetir. Kami berada di kelas sebelas tahun ini.
“Tapi aku lupa bawa topiku!”
“Sudahlah, tak usah kembali lagi, kelamaan! Nih, pakai saja topiku!” kataku.
“Lalu kau?”
“Tak usah pikirkan aku. Aku tak masalah kepanasan!” jelasku.
“Hey, Keanne, kemarilah! Aku menemukan sesuatu yang aneh disini!”
Itulah aku, Keanne Blamington. Teman-temanku memanggilku Keanne atau Keanny. Aku berambut hitam kecoklatan pendek dan berkulit kuning. Aku satu-satunya yang berketurunan Asia. Aku seorang gadis remaja berusia enam belas tahun yang sebentar lagi akan menikmati masa-masa dimana kebanyakan orang menyebutnya masa yang paling indah, “Sweet Seventeen”.
Aku tinggal di daerah pinggir pantai dengan lingkungan yang bersih dan menyejukkan. Aku tinggal bersama tiga gadis remaja seumuranku yang menyenangkan. Walau letak rumah kami berjauhan, kami selalu pergi bersama-sama.
“Apa yang kau temukan, Green?” tanyaku.
“Kerang hijau!” sahut Green.
Green adalah seorang gadis remaja berambut coklat keemasan lurus yang tak pernah cemberut. Selalu ada tawa di wajahnya. Nama aslinya adalah Pauline Bradley. Namun karena dalam segala hal ia selalu menyangkut pautkan warna hijau, Green menjadi nama sebutannya.
“Ah, itu hanyalah kerangka kerang yang diselimuti lumut tahu!” kata Mandy, si Centil.
Mandy, Mandy Pawlowski. Seorang gadis berambut pirang panjang bergelombang yang selalu membawa kipas di tangannya. Dia tidak mau sampai berpenampilan buruk. Walau begitu, dia adalah yang paling cerdas. Maka dari itu, kami menyebutnya si Centil, Cerdas walau Centil.
“Oh, ya, Keanne, terima kasih buat topinya ya,” kata Mandy.
“Iya, karena kau, Keanne jadi kepanasan,” kata Brenda.
Brenda McKay. Gadis berambut keemasan, tinggi dan putih. Dia yang selalu membelaku apabila ada yang menggangguku di sekolah. Dia dikenal sebagai “gangster girl” di sekolah. Jadi tak seorangpun berani melawannya.
“Sudahlah, aku baik-baik saja, Brenda. Jangan kau buat Mandy menangis lagi seperti kemarin,” pintaku. “Dia memang manja, tapi dia tak bermaksud begitu.”
Mandy dan Brenda selalu saja berselisih paham. Tapi bukan berarti mereka tak pernah kompak. Dalam hal makanan dan anak-anak, mereka yang paling kompak. Keduanya sama-sama menyukai makanan yang manis pedas dan sama-sama suka anak-anak. Memang hal yang agak aneh, walau Brenda terlihat garang, tapi dia selalu lembut pada anak-anak.
Itulah kami The Best. Aku, Keanne, adalah yang terbaik dalam musik. Aku sering memenangkan piala dalam kejuaraan-kejuaraan musik dimana pun sekolah mengirimku. Green, yang terbaik dalam ilmu pengetahuan alam. Dialah yang selalu dikirim dalam “Science Olympiad”. Mandy, yang terbaik dalam fashion. Dialah pemenang kejuaraan model berturut-turut selama lima tahun terakhir. Dan yang terakhir, Brenda. Dia yang terbaik dalam olahraga basket. Dialah yang menjadi maskot sekolah kami.
Kami bersekolah di Senior High School State New York. Kami selalu berangkat sekolah dengan mobil Brenda ? dan tentu saja Brenda yang menyetir. Kami berada di kelas sebelas tahun ini.
Ada Apa dengan Mom? (Chapter 3)
Hari itu Mom pulang lebih larut sepanjang lima minggu terakhir ini. Seharusnya pukul lima sore ia sudah sampai di rumah. Namun ini kan sudah pukul tujuh, tapi kenapa Mom belum datang-datang juga? Aku tidak mau melewatkan makan malamku sendirian.
Akhirnya, karena terlalu lama menunggu, aku tertidur di sofa ruang tamu dengan lampu mati.
Klik! Seseorang menyalakan saklar lampu ruang tamu dimana aku tertidur.
”Terima kasih sudah mengantarkan aku ya,”
Lho, bukankah itu suara Mom? gumamku sambil mengintip dari balik sofa. Apa? Mom bersama anak laki-laki itu? Apakah Mom benar-benar ingin menikahi orang yang jauh lebih muda darinya?
”Mom, kenapa kau pulang selarut ini? Siapa yang bersamamu tadi, Mom?” tanyaku dengan amarah yang meledak-ledak.
Tanpa menunggu jawaban dari Mom, aku berlari mendekati anak laki-laki itu dan menghentikannya.
”Berhenti! Aku ingin berbicara denganmu,” bentakku.
Dia pun berbalik.
”Nick?” aku terperanjat. ”Kau?”
”Baiklah, mungkin memang sudah seharusnya aku berkata yang sejujurnya,” kata Nick sambil menghela nafas.
”Jangan katakan. Aku sudah tahu. Kau pasti ingin mengatakan bahwa kau akan menikah dengan satu-satunya orang yang aku miliki kan?” amarahku semakin menjadi-jadi. ”Tapi kenapa tadi kau berkata padaku bahwa kau memiliki janji dengan seorang ibu untuk mendampingi putrinya? Kenapa kau tidak berkata yang sebenarnya saja bahwa kau akan menikahi ibuku? Ternyata salah kalau selama ini aku menyukai orang yang akan menjadi ayah mudaku!”
Nick tertawa. ”Ayah muda? Menikahi ibumu?” Nick semakin terpingkal-pingkal. ”Kurasa kau sudah salah sangka. Mana mungkin aku menikahi ibumu? Kau kira aku gila?”
Aku terdiam. Dalam hati aku mengiyakan kata-kata Nick.
”Tapi asal kau tahu, apa yang aku katakan tadi siang bukanlah suatu kebohongan. Aku berkata jujur. Biar aku menceritakan padamu sesuatu. Suatu kali, aku bertemu dengan seorang ibu. Aku melihat suatu kesedihan di wajahnya. Karena aku tidak tega melihatnya seperti itu, aku mendekatinya dan mengajaknya berbicara. Ibu itu menceritakan segala kesedihannya padaku dan berkata bahwa ia mempunyai seorang putri, dimana ia tak bisa membuat putrinya bahagia. Kami bercerita panjang lebar. Rupanya, putrinya adalah orang yang kukenal. Entah mengapa, aku memutuskan untuk membantu ibu itu untuk membahagiakan anaknya yang kesepian itu,” jelas Nick. ”Dan kau tahu? Anak perempuan yang kumaksudkan tadi, sekarang berada tepat di depanku.”
Aku tersentak.
Nick pun berlutut. Sekuntum bunga pun disodorkannya padaku.
”Nick,” dengan muka memerah aku mengambil bunga itu dari tangan Nick.
Crassshh!!! Sebuah tutup botol whisky lepas dari tempatnya.
”Selamat ya!” seseorang muncul dari balik semak-semak.
”Mitzy?” aku terkejut senang. ”Jangan katakan bahwa kau terlibat dalam hal ini.”
Mitzy mengangguk. ”Maaf, kalau aku bercerita padamu, ending story-nya tak akan sebagus ini kan?” katanya sambil tertawa bahagia.
”Mari kita rayakan kebahagiaan ini!” seru Mom.
”Sekarang? Ini kan sudah malam,” selaku.
”Saat-saat seperti ini kan belum tentu datang dua kali, Belle,” bisik Mitzy.
”Baiklah! Ayo kita rayakan!” seruku.
Mulai saat itu, Nick adalah orang yang selalu berada di sisiku. Dan tentu saja aku merasa sangat berterima kasih kepada semua orang yang turut andil dalam hal ini..Thank’s for everything Mom, Mitzy and my dear boyfriend, Nick!
Akhirnya, karena terlalu lama menunggu, aku tertidur di sofa ruang tamu dengan lampu mati.
Klik! Seseorang menyalakan saklar lampu ruang tamu dimana aku tertidur.
”Terima kasih sudah mengantarkan aku ya,”
Lho, bukankah itu suara Mom? gumamku sambil mengintip dari balik sofa. Apa? Mom bersama anak laki-laki itu? Apakah Mom benar-benar ingin menikahi orang yang jauh lebih muda darinya?
”Mom, kenapa kau pulang selarut ini? Siapa yang bersamamu tadi, Mom?” tanyaku dengan amarah yang meledak-ledak.
Tanpa menunggu jawaban dari Mom, aku berlari mendekati anak laki-laki itu dan menghentikannya.
”Berhenti! Aku ingin berbicara denganmu,” bentakku.
Dia pun berbalik.
”Nick?” aku terperanjat. ”Kau?”
”Baiklah, mungkin memang sudah seharusnya aku berkata yang sejujurnya,” kata Nick sambil menghela nafas.
”Jangan katakan. Aku sudah tahu. Kau pasti ingin mengatakan bahwa kau akan menikah dengan satu-satunya orang yang aku miliki kan?” amarahku semakin menjadi-jadi. ”Tapi kenapa tadi kau berkata padaku bahwa kau memiliki janji dengan seorang ibu untuk mendampingi putrinya? Kenapa kau tidak berkata yang sebenarnya saja bahwa kau akan menikahi ibuku? Ternyata salah kalau selama ini aku menyukai orang yang akan menjadi ayah mudaku!”
Nick tertawa. ”Ayah muda? Menikahi ibumu?” Nick semakin terpingkal-pingkal. ”Kurasa kau sudah salah sangka. Mana mungkin aku menikahi ibumu? Kau kira aku gila?”
Aku terdiam. Dalam hati aku mengiyakan kata-kata Nick.
”Tapi asal kau tahu, apa yang aku katakan tadi siang bukanlah suatu kebohongan. Aku berkata jujur. Biar aku menceritakan padamu sesuatu. Suatu kali, aku bertemu dengan seorang ibu. Aku melihat suatu kesedihan di wajahnya. Karena aku tidak tega melihatnya seperti itu, aku mendekatinya dan mengajaknya berbicara. Ibu itu menceritakan segala kesedihannya padaku dan berkata bahwa ia mempunyai seorang putri, dimana ia tak bisa membuat putrinya bahagia. Kami bercerita panjang lebar. Rupanya, putrinya adalah orang yang kukenal. Entah mengapa, aku memutuskan untuk membantu ibu itu untuk membahagiakan anaknya yang kesepian itu,” jelas Nick. ”Dan kau tahu? Anak perempuan yang kumaksudkan tadi, sekarang berada tepat di depanku.”
Aku tersentak.
Nick pun berlutut. Sekuntum bunga pun disodorkannya padaku.
”Nick,” dengan muka memerah aku mengambil bunga itu dari tangan Nick.
Crassshh!!! Sebuah tutup botol whisky lepas dari tempatnya.
”Selamat ya!” seseorang muncul dari balik semak-semak.
”Mitzy?” aku terkejut senang. ”Jangan katakan bahwa kau terlibat dalam hal ini.”
Mitzy mengangguk. ”Maaf, kalau aku bercerita padamu, ending story-nya tak akan sebagus ini kan?” katanya sambil tertawa bahagia.
”Mari kita rayakan kebahagiaan ini!” seru Mom.
”Sekarang? Ini kan sudah malam,” selaku.
”Saat-saat seperti ini kan belum tentu datang dua kali, Belle,” bisik Mitzy.
”Baiklah! Ayo kita rayakan!” seruku.
Mulai saat itu, Nick adalah orang yang selalu berada di sisiku. Dan tentu saja aku merasa sangat berterima kasih kepada semua orang yang turut andil dalam hal ini..Thank’s for everything Mom, Mitzy and my dear boyfriend, Nick!
Ada Apa dengan Mom? (Chapter 2)
”Mitzy, dimana ruang musiknya?” tanyaku.
”Mau apa kau?” tanya Mitzy.
”Sudahlah, beritahu saja dimana ruang musiknya,” pintaku.
”Ada di dekat kantin, tapi masih dipakai oleh kelas sebelas musik,” kata Mitzy.
Aku menundukkan kepalaku. Putus asa; tak ada piano di saat aku sedih, merupakan suatu bencana bagiku.
”Oh, iya. Ada satu piano lagi yang tidak dipakai,” Mitzy memberiku secercah harapan.
”Dimana?”
”Tapi ada di gudang belakang sekolah,” kata Mitzy. ”Kau yakin mau kesana?”
”Tidak masalah,” tanpa menghiraukannya lagi, aku berlari menuju gudang belakang sekolah.
Seharian aku menangis dengan bermain piano yang ada di dalam gudang belakang sekolah. Aku tak tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupanku yang selanjutnya, dengan seorang ibu yang semakin hari menjadi semakin aneh dan dengan seorang anak laki-laki yang akan menjadi ayahku.
Seseorang menyodorkan sebuah sapu tangan padaku.
Tanpa melihat siapa yang menyodorkannya, kuraih sapu tangan itu.
”Kenapa menangis disini seharian?” tanyanya.
Aku sangat terkejut saat mendongakkan kepalaku dan melihat orang yang telah menyodorkan sapu tangannnya padaku, yang ada di depanku saat ini. Nick.
”Ak... aku sedang ada masalah,” kataku singkat.
”Kalau kau mau, aku bersedia mendengarkan segala keluh kesahmu, agar bebanmu tidak kau tanggung sendirian,” katanya.
”Maaf, aku tidak terbiasa untuk menceritakan masalahku kepada orang lain,” kataku.
”Baiklah kalau begitu,” katanya. ”Tapi apakah aku boleh bermain piano bersamamu? Kurasa aku tahu lagu yang barusan kau mainkan.”
Aku mengangguk.
Untuk beberapa waktu lamanya kami memainkan lagu yang kumainkan sebelumnya. Sangat tidak terbayangkan betapa indahnya bermain piano bersama dengan sang pujaan hati gadis-gadis. Hal yang sangat kuinginkan ternyata terkabul tanpa bersusah payah.
”Aku bermasalah dengan ibuku,” aku mulai membuka pembicaraan setelah kami selesai memainkan lagu itu. ”Dia bersikap aneh dan semakin aneh dari hari ke hari. Rupanya ibuku berhubungan dengan seorang anak laki-laki yang jelas-jelas jauh lebih muda darinya. Dan aku tidak mau punya ayah yang muda!”
”Benarkah? Tapi apakah kau tidak pernah berpikir akan hal lain yang mungkin adalah penyebab ibumu melakukan hal itu?” Nick berusaha menghiburku.
”Entahlah. Tapi setahuku tidak ada hal lain yang menyebabkan ibuku melakukan hal itu,” kataku. ” Bagaimanapun juga, aku senang berada bersamamu. Dan terimakasih untuk menghiburku.”
”Kau tahu? Aku juga senang untuk berada di dekatmu seperti sekarang ini,” katanya. ”Kalau aku boleh jujur, sejak pertama aku bertemu denganmu, aku sudah jatuh cinta padamu.”
”Apa?” aku tak dapat mengeluarkan sepatah kata apapun setelah itu.
”Percayalah padaku,” Nick berusaha meyakinkan.
Hatiku berdebar-debar. Dan kurasa bunga-bunga mulai bermekaran lagi dalam hatiku.
”Kalau bisa, saat ini aku akan memintamu menjadi pacarku,” katanya. ”Tapi tidak bisa.”
Dug!! Bunga-bunga dalam hatiku berguguran lagi.
”Aku sudah punya janji dengan seorang ibu untuk mendampingi putrinya yang merasa kesepian setelah ayahnya meninggal,” lanjut Nick.
”Oh, begitu,” aku mengangguk-amgguk. ” Kalau begitu, kau harus menepati janjimu. Karena apapun itu, Tuhan sudah rencanakan yang terbaik untukmu. Juga untukku.”
”Hei apa yang terjadi di dalam sana? Kulihat Nick memegang tanganmu,” kata Mitzy yang ternyata berada di luar gedung dan menungguku. ”Apakah dia menyatakan cinta padamu?”
Aku mengangguk.
”Benarkan apa kataku? Aku yakin kau pasti akan menjadi pacar Nick,” kata Mitzy.
”Kau salah!” sahutku. ” Dia memang menyatakan cinta, tapi dia juga berkata kalau dia tidak bisa menjadi pacarku karena dia telah memiliki janji dengan seorang ibu untuk mendampingi putrinya.”
”Oh, maaf,” kata Mitzy seketika itu juga. Wajahnyapun memancarkan seolah dia dapat merasakan apa yang kurasakan.
”Mau apa kau?” tanya Mitzy.
”Sudahlah, beritahu saja dimana ruang musiknya,” pintaku.
”Ada di dekat kantin, tapi masih dipakai oleh kelas sebelas musik,” kata Mitzy.
Aku menundukkan kepalaku. Putus asa; tak ada piano di saat aku sedih, merupakan suatu bencana bagiku.
”Oh, iya. Ada satu piano lagi yang tidak dipakai,” Mitzy memberiku secercah harapan.
”Dimana?”
”Tapi ada di gudang belakang sekolah,” kata Mitzy. ”Kau yakin mau kesana?”
”Tidak masalah,” tanpa menghiraukannya lagi, aku berlari menuju gudang belakang sekolah.
Seharian aku menangis dengan bermain piano yang ada di dalam gudang belakang sekolah. Aku tak tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupanku yang selanjutnya, dengan seorang ibu yang semakin hari menjadi semakin aneh dan dengan seorang anak laki-laki yang akan menjadi ayahku.
Seseorang menyodorkan sebuah sapu tangan padaku.
Tanpa melihat siapa yang menyodorkannya, kuraih sapu tangan itu.
”Kenapa menangis disini seharian?” tanyanya.
Aku sangat terkejut saat mendongakkan kepalaku dan melihat orang yang telah menyodorkan sapu tangannnya padaku, yang ada di depanku saat ini. Nick.
”Ak... aku sedang ada masalah,” kataku singkat.
”Kalau kau mau, aku bersedia mendengarkan segala keluh kesahmu, agar bebanmu tidak kau tanggung sendirian,” katanya.
”Maaf, aku tidak terbiasa untuk menceritakan masalahku kepada orang lain,” kataku.
”Baiklah kalau begitu,” katanya. ”Tapi apakah aku boleh bermain piano bersamamu? Kurasa aku tahu lagu yang barusan kau mainkan.”
Aku mengangguk.
Untuk beberapa waktu lamanya kami memainkan lagu yang kumainkan sebelumnya. Sangat tidak terbayangkan betapa indahnya bermain piano bersama dengan sang pujaan hati gadis-gadis. Hal yang sangat kuinginkan ternyata terkabul tanpa bersusah payah.
”Aku bermasalah dengan ibuku,” aku mulai membuka pembicaraan setelah kami selesai memainkan lagu itu. ”Dia bersikap aneh dan semakin aneh dari hari ke hari. Rupanya ibuku berhubungan dengan seorang anak laki-laki yang jelas-jelas jauh lebih muda darinya. Dan aku tidak mau punya ayah yang muda!”
”Benarkah? Tapi apakah kau tidak pernah berpikir akan hal lain yang mungkin adalah penyebab ibumu melakukan hal itu?” Nick berusaha menghiburku.
”Entahlah. Tapi setahuku tidak ada hal lain yang menyebabkan ibuku melakukan hal itu,” kataku. ” Bagaimanapun juga, aku senang berada bersamamu. Dan terimakasih untuk menghiburku.”
”Kau tahu? Aku juga senang untuk berada di dekatmu seperti sekarang ini,” katanya. ”Kalau aku boleh jujur, sejak pertama aku bertemu denganmu, aku sudah jatuh cinta padamu.”
”Apa?” aku tak dapat mengeluarkan sepatah kata apapun setelah itu.
”Percayalah padaku,” Nick berusaha meyakinkan.
Hatiku berdebar-debar. Dan kurasa bunga-bunga mulai bermekaran lagi dalam hatiku.
”Kalau bisa, saat ini aku akan memintamu menjadi pacarku,” katanya. ”Tapi tidak bisa.”
Dug!! Bunga-bunga dalam hatiku berguguran lagi.
”Aku sudah punya janji dengan seorang ibu untuk mendampingi putrinya yang merasa kesepian setelah ayahnya meninggal,” lanjut Nick.
”Oh, begitu,” aku mengangguk-amgguk. ” Kalau begitu, kau harus menepati janjimu. Karena apapun itu, Tuhan sudah rencanakan yang terbaik untukmu. Juga untukku.”
”Hei apa yang terjadi di dalam sana? Kulihat Nick memegang tanganmu,” kata Mitzy yang ternyata berada di luar gedung dan menungguku. ”Apakah dia menyatakan cinta padamu?”
Aku mengangguk.
”Benarkan apa kataku? Aku yakin kau pasti akan menjadi pacar Nick,” kata Mitzy.
”Kau salah!” sahutku. ” Dia memang menyatakan cinta, tapi dia juga berkata kalau dia tidak bisa menjadi pacarku karena dia telah memiliki janji dengan seorang ibu untuk mendampingi putrinya.”
”Oh, maaf,” kata Mitzy seketika itu juga. Wajahnyapun memancarkan seolah dia dapat merasakan apa yang kurasakan.
Ada Apa dengan Mom? (Chapter 1)
Siang yang panas. Hari ini, untuk kelima belas kalinya aku pindah rumah. Ini semua karena Mom yang tidak tahan untuk tinggal diam setelah kematian Dad tiga tahun yang lalu. Mom adalah orang yang super sensitif. Maka dari itu, ketika Mom tersinggung akan sesuatu di daerah dimana kami tinggal, Mom langsung memutuskan untuk pindah rumah. Alasannya, agar masalah tidak datang lagi. Tapi kenyataannya....sama saja.
” Bellinda! Bellinda Bradley! Jangan berlama-lama di mobil!” seru Mom.
Kali ini, kami pindah ke rumah bertingkat dua yang cukup besar di Miami. Namun kali ini, kami jauh dari tetangga. Entah kenapa Mom memilih untuk tinggal di tempat yang sepi, padahal aku tahu sekali kalau Mom tidak suka keadaan yang sepi. Kuharap ini karena Mom tak mau lagi menghabiskan uang untuk berpindah rumah akibat sifatnya yang super sensitif itu. Semoga saja.
Aku selesai menata barang-barangku. Seperti yang sudah biasa kulakukan, aku tidak mengeluarkan semua barang-barangku, aku tetap meletakkannya dalam koper, untuk berjaga-jaga kalau-kalau kami akan pindah lagi, aku sudah siap untuk meninggalkan tempat baru ini.
Sehari sesudahnya, aku masuk ke sebuah sekolah menengah atas yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Lagi-lagi sekolah baru, teman baru, guru baru, seragam baru dan buku baru. Aku sudah terbiasa dengan semua itu, jadi itu bukanlah sebuah masalah lagi bagiku.
”Nona Bradley,” seorang wanita setengah baya yang menjadi kepala sekolah. ”Apakah anda memiliki arsip yang lengkap dari sekolah anda sebelumnya?”
”Maaf Bu, saya tidak memiliki rapor dari sekolah saya sebelumnya karena ada beberapa masalah yang membuat saya kehilangan rapor saya,” jelasku.
”Kudengar, ini yang kelimabelas kalinya anda dan ibu anda pindah rumah. Apakah karena itu?” tanya beliau.
”Benar Bu,” jawabku. ”Tapi ini baru pertama kalinya saya kehilangan rapor, Bu. Sebelumnya tidak pernah sama sekali.”
”Kau tahu? Kau beruntung karena kau kehilangan rapor saat masih berada dalam semester awal di kelas sepuluh,” kata beliau. ”Untuk itu, aku dapat mengatur soal rapormu itu. Tapi aku perlu ibumu. Kenapa dia tidak mengantarmu masuk sekolah di hari pertama?”
”Karena ibu saya sedang mencari pekerjaan, Bu,” jawabku. ”Tapi untuk itu, ibu tidak perlu mengkhawatirkan saya, karena saya sudah terbiasa tidak ditemani selama dua tahun terakhir ini.”
”Kalau menurutku, ibumu adalah seorang ibu yang tidak berperikemanusiaan. Setidaknya dia mengantarmu sampai di depan pintu ruangan ini,”kata beliau kesal, seolah mengerti apa yang kurasakan.
”Ibu saya adalah seorang ibu yang menyayangi anaknya. Sampai suatu ketika, ibu saya berubah semenjak ayah saya meninggal,” jelasku singkat. ”Oh, maaf, tidak seharusnya saya menceritakan masalah saya kepada anda.”
”Sebenarnya, itu tidak masalah jika kau ingin bercerita. Tapi baiklah kalau begitu, pergilah ke kelasmu. Ibu Christine, yang menjadi wali kelasmu akan mengantarmu,” kata beliau.
Akupun berjalan menuju kelasku bersama Bu Christine. Di sepanjang perjalanan aku berpikir, kenapa aku bisa menceritakan masalahku pada Bu Nadine, kepala sekolah itu. Entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang aneh di tempat ini.
Brruuk! Aku menabrak seseorang dan terjatuh.
”Kau baik-baik saja?” seorang anak laki-laki mengulurkan tangannya padaku. ”Maaf kalau aku sudah menabrakmu.”
Akupun menyambut uluran tangannya dan berdiri.
”Tak apa. Ini salahku. Aku yang tidak melihat jalan,” kataku sambil membersihkan bajuku. ”Terima kasih.”
”Benar kau baik-baik saja? Kulihat lenganmu terbentur keras tadi,” tanya Bu Christine.
”Jangan kuatir, Bu, saya baik-baik saja,” jawabku.
Kami pun kembali melanjutkan perjalanan kami menuju ke kelas X-9. Tapi senyum anak laki-laki itu sudah membuatku terpesona.
”Anak-anak, perhatian! Hari ini kita kedatangan teman baru,” seru Bu Christine. “Perkenalkan dirimu, nak.”
Aku memperkenalkan diriku kemudian duduk di sebelah gadis yang duduk di depan dekat pintu masuk.
”Kudengar, kau ini baru saja pindah rumah untuk kelimabelas kalinya ya?” tanya gadis itu tiba-tiba.
”Bagaimana kau bisa tahu?” aku tersentak.
”Aku terbiasa menguping pembicaraan kepala sekolah bila ada anak baru yang masuk ke sekolah ini,” jawabnya santai. ”Oh ya, ngomong-ngomong, anak laki-laki yang bertabrakan denganmu adalah pujaan gadis-gadis di sekolah ini, namanya Nick. Oh ya aku Mitzy.”
Mendengarnya, bunga-bunga indah yang bermekaran dalam hatiku seolah berguguran satu persatu. Karena aku tahu bahwa aku pasti bukan apa-apa untuk bisa menjadi pacarnya. Karena apakah yang ada dalam diriku yang bisa dibanggakan? Aku hanyalah seorang gadis remaja biasa berkemampuan terbatas. Lebih baik mulai dari sekarang aku harus berusaha melupakannya.
Hari demi hari berlalu, aku tetap saja tak bisa melupakan Nick. Dia sepertinya sudah membiusku dengan senyumannya.
”Mom, ayo temani aku membeli sepatu baru,” pintaku.
”Sayang, maafkan aku. Sayangnya aku tak bisa hari ini,”kata Mom.
”Kenapa Mom? Tapi aku perlu kau untuk memilihkanku sepatu yang paling bagus,” aku merengek. ”Please...,”
”Ini uangnya, terserah kau mau beli yang mana saja, Belinda, putriku sayang,”kata Mom.
Kurasa rengekanku sudah tak ada artinya lagi. Karenanya, aku pun memutuskan untuk pergi sendirian.
Dari hari ke hari, Mom kelihatan berbeda. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Kurasa Mom menyembunyikan sesuatu dariku. Ya, benar. Aku tahu Mom merencanakan sesuatu yang tidak diberitahukannya padaku.
”Hei, Belle, lihat, Nick ada di ujung sana. Dia sedang beristirahat setelah bermain basket,” tunjuk Mitzy. ”Dan banyak gadis mengerubunginya.”
”Oh, sudahlah Mitzy. Aku tahu kau mau menggodaku. Aku tidak akan mempedulikannya lagi,” kataku.
”Yang benar saja. Hampir seluruh gadis dimanapun, bila bertemu dengan Nick pasti langsung jatuh cinta,” katanya. ”Dan kurasa kau salah satunya.”
”Mungkin aku memang jatuh cinta padanya. Tapi aku yakin, sebentar lagi perasaan itu akan segera hilang.” kataku.
”Tapi kau tahu, Belle? Aku merasakan sesuatu yang berbeda darimu, entahlah tapi aku merasa Nick suka padamu,” Mitzy meyakinkan.
” Sudahlah, jangan berusaha menghiburku, teman,” pintaku. ”Lagipula kita harus kembali ke kelas sekarang.”
Hari ini adalah yang kelima kalinya Mom pulang larut malam. Dalam lima minggu ini aku semakin curiga akan apa yang Mom lakukan. Kurasa, aku harus menyelidikinya. Karena, untuk pekerjaan yang hanya memakan waktu sampai siang hari, tidak diperlukan tenaga lebih sampai harus kembali ke rumah larut malam.
Setelah pulang sekolah, aku pergi ke tempat dimana Mom bekerja. Aku bersembunyi di balik sebuah mobil yang tak jauh dari sana.
Jam 03.00 pm aku melihat Mom keluar dari tempat bekerja. Dengan mengendap-endap, aku mengikutinya dari belakang. Setelah sekian lama berjalan mengikuti Mom. Akhirnya Mom berhenti dan menemui...seorang pria!
Oh tidak! Rupanya dugaanku salah. Mom tidak menemui seorang pria. Mom menemui seorang anak laki-laki! Tampaknya mereka juga mesra sekali. Oh Tuhan, jangan biarkan hal ini terjadi. Jangan biarkan Mom menyukai seorang anak laki-laki yang jauh lebih muda darinya, sebagai pengganti Dad. Tapi seharusnya Mom berkata jujur padaku kalau memang ia tak tahan untuk hidup sendiri, tanpa suami, walaupun aku harus memiliki ayah yang umurnya tidak terlalu jauh dariku.
Mom dan anak laki-laki itu naik sebuah mobil yang melaju cepat. Karenanya, aku tidak dapat mengejarnya lagi.
” Bellinda! Bellinda Bradley! Jangan berlama-lama di mobil!” seru Mom.
Kali ini, kami pindah ke rumah bertingkat dua yang cukup besar di Miami. Namun kali ini, kami jauh dari tetangga. Entah kenapa Mom memilih untuk tinggal di tempat yang sepi, padahal aku tahu sekali kalau Mom tidak suka keadaan yang sepi. Kuharap ini karena Mom tak mau lagi menghabiskan uang untuk berpindah rumah akibat sifatnya yang super sensitif itu. Semoga saja.
Aku selesai menata barang-barangku. Seperti yang sudah biasa kulakukan, aku tidak mengeluarkan semua barang-barangku, aku tetap meletakkannya dalam koper, untuk berjaga-jaga kalau-kalau kami akan pindah lagi, aku sudah siap untuk meninggalkan tempat baru ini.
Sehari sesudahnya, aku masuk ke sebuah sekolah menengah atas yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Lagi-lagi sekolah baru, teman baru, guru baru, seragam baru dan buku baru. Aku sudah terbiasa dengan semua itu, jadi itu bukanlah sebuah masalah lagi bagiku.
”Nona Bradley,” seorang wanita setengah baya yang menjadi kepala sekolah. ”Apakah anda memiliki arsip yang lengkap dari sekolah anda sebelumnya?”
”Maaf Bu, saya tidak memiliki rapor dari sekolah saya sebelumnya karena ada beberapa masalah yang membuat saya kehilangan rapor saya,” jelasku.
”Kudengar, ini yang kelimabelas kalinya anda dan ibu anda pindah rumah. Apakah karena itu?” tanya beliau.
”Benar Bu,” jawabku. ”Tapi ini baru pertama kalinya saya kehilangan rapor, Bu. Sebelumnya tidak pernah sama sekali.”
”Kau tahu? Kau beruntung karena kau kehilangan rapor saat masih berada dalam semester awal di kelas sepuluh,” kata beliau. ”Untuk itu, aku dapat mengatur soal rapormu itu. Tapi aku perlu ibumu. Kenapa dia tidak mengantarmu masuk sekolah di hari pertama?”
”Karena ibu saya sedang mencari pekerjaan, Bu,” jawabku. ”Tapi untuk itu, ibu tidak perlu mengkhawatirkan saya, karena saya sudah terbiasa tidak ditemani selama dua tahun terakhir ini.”
”Kalau menurutku, ibumu adalah seorang ibu yang tidak berperikemanusiaan. Setidaknya dia mengantarmu sampai di depan pintu ruangan ini,”kata beliau kesal, seolah mengerti apa yang kurasakan.
”Ibu saya adalah seorang ibu yang menyayangi anaknya. Sampai suatu ketika, ibu saya berubah semenjak ayah saya meninggal,” jelasku singkat. ”Oh, maaf, tidak seharusnya saya menceritakan masalah saya kepada anda.”
”Sebenarnya, itu tidak masalah jika kau ingin bercerita. Tapi baiklah kalau begitu, pergilah ke kelasmu. Ibu Christine, yang menjadi wali kelasmu akan mengantarmu,” kata beliau.
Akupun berjalan menuju kelasku bersama Bu Christine. Di sepanjang perjalanan aku berpikir, kenapa aku bisa menceritakan masalahku pada Bu Nadine, kepala sekolah itu. Entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang aneh di tempat ini.
Brruuk! Aku menabrak seseorang dan terjatuh.
”Kau baik-baik saja?” seorang anak laki-laki mengulurkan tangannya padaku. ”Maaf kalau aku sudah menabrakmu.”
Akupun menyambut uluran tangannya dan berdiri.
”Tak apa. Ini salahku. Aku yang tidak melihat jalan,” kataku sambil membersihkan bajuku. ”Terima kasih.”
”Benar kau baik-baik saja? Kulihat lenganmu terbentur keras tadi,” tanya Bu Christine.
”Jangan kuatir, Bu, saya baik-baik saja,” jawabku.
Kami pun kembali melanjutkan perjalanan kami menuju ke kelas X-9. Tapi senyum anak laki-laki itu sudah membuatku terpesona.
”Anak-anak, perhatian! Hari ini kita kedatangan teman baru,” seru Bu Christine. “Perkenalkan dirimu, nak.”
Aku memperkenalkan diriku kemudian duduk di sebelah gadis yang duduk di depan dekat pintu masuk.
”Kudengar, kau ini baru saja pindah rumah untuk kelimabelas kalinya ya?” tanya gadis itu tiba-tiba.
”Bagaimana kau bisa tahu?” aku tersentak.
”Aku terbiasa menguping pembicaraan kepala sekolah bila ada anak baru yang masuk ke sekolah ini,” jawabnya santai. ”Oh ya, ngomong-ngomong, anak laki-laki yang bertabrakan denganmu adalah pujaan gadis-gadis di sekolah ini, namanya Nick. Oh ya aku Mitzy.”
Mendengarnya, bunga-bunga indah yang bermekaran dalam hatiku seolah berguguran satu persatu. Karena aku tahu bahwa aku pasti bukan apa-apa untuk bisa menjadi pacarnya. Karena apakah yang ada dalam diriku yang bisa dibanggakan? Aku hanyalah seorang gadis remaja biasa berkemampuan terbatas. Lebih baik mulai dari sekarang aku harus berusaha melupakannya.
Hari demi hari berlalu, aku tetap saja tak bisa melupakan Nick. Dia sepertinya sudah membiusku dengan senyumannya.
”Mom, ayo temani aku membeli sepatu baru,” pintaku.
”Sayang, maafkan aku. Sayangnya aku tak bisa hari ini,”kata Mom.
”Kenapa Mom? Tapi aku perlu kau untuk memilihkanku sepatu yang paling bagus,” aku merengek. ”Please...,”
”Ini uangnya, terserah kau mau beli yang mana saja, Belinda, putriku sayang,”kata Mom.
Kurasa rengekanku sudah tak ada artinya lagi. Karenanya, aku pun memutuskan untuk pergi sendirian.
Dari hari ke hari, Mom kelihatan berbeda. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Kurasa Mom menyembunyikan sesuatu dariku. Ya, benar. Aku tahu Mom merencanakan sesuatu yang tidak diberitahukannya padaku.
”Hei, Belle, lihat, Nick ada di ujung sana. Dia sedang beristirahat setelah bermain basket,” tunjuk Mitzy. ”Dan banyak gadis mengerubunginya.”
”Oh, sudahlah Mitzy. Aku tahu kau mau menggodaku. Aku tidak akan mempedulikannya lagi,” kataku.
”Yang benar saja. Hampir seluruh gadis dimanapun, bila bertemu dengan Nick pasti langsung jatuh cinta,” katanya. ”Dan kurasa kau salah satunya.”
”Mungkin aku memang jatuh cinta padanya. Tapi aku yakin, sebentar lagi perasaan itu akan segera hilang.” kataku.
”Tapi kau tahu, Belle? Aku merasakan sesuatu yang berbeda darimu, entahlah tapi aku merasa Nick suka padamu,” Mitzy meyakinkan.
” Sudahlah, jangan berusaha menghiburku, teman,” pintaku. ”Lagipula kita harus kembali ke kelas sekarang.”
Hari ini adalah yang kelima kalinya Mom pulang larut malam. Dalam lima minggu ini aku semakin curiga akan apa yang Mom lakukan. Kurasa, aku harus menyelidikinya. Karena, untuk pekerjaan yang hanya memakan waktu sampai siang hari, tidak diperlukan tenaga lebih sampai harus kembali ke rumah larut malam.
Setelah pulang sekolah, aku pergi ke tempat dimana Mom bekerja. Aku bersembunyi di balik sebuah mobil yang tak jauh dari sana.
Jam 03.00 pm aku melihat Mom keluar dari tempat bekerja. Dengan mengendap-endap, aku mengikutinya dari belakang. Setelah sekian lama berjalan mengikuti Mom. Akhirnya Mom berhenti dan menemui...seorang pria!
Oh tidak! Rupanya dugaanku salah. Mom tidak menemui seorang pria. Mom menemui seorang anak laki-laki! Tampaknya mereka juga mesra sekali. Oh Tuhan, jangan biarkan hal ini terjadi. Jangan biarkan Mom menyukai seorang anak laki-laki yang jauh lebih muda darinya, sebagai pengganti Dad. Tapi seharusnya Mom berkata jujur padaku kalau memang ia tak tahan untuk hidup sendiri, tanpa suami, walaupun aku harus memiliki ayah yang umurnya tidak terlalu jauh dariku.
Mom dan anak laki-laki itu naik sebuah mobil yang melaju cepat. Karenanya, aku tidak dapat mengejarnya lagi.
Blessings - Laura Story
Popular Posts
-
You are my strength When all my strength has ended You are my hope When all my hope is gone You are my joy When my world is full of sorrow Y...
-
by Ecclesia Cirebon Here I am, Master…in humble I lay all of my life Here I am, Master…in humble I lay all of my rights Burned as a sa...
-
Inilah panggilan kita Penuai di akhir jaman Membawa suku, bangsa, kaum dan bahasa Inilah panggilan kita Penuai di akhir jaman Membawa suku,...