Ada Apa dengan Mom? (Chapter 2)

”Mitzy, dimana ruang musiknya?” tanyaku.
”Mau apa kau?” tanya Mitzy.
”Sudahlah, beritahu saja dimana ruang musiknya,” pintaku.
”Ada di dekat kantin, tapi masih dipakai oleh kelas sebelas musik,” kata Mitzy.
Aku menundukkan kepalaku. Putus asa; tak ada piano di saat aku sedih, merupakan suatu bencana bagiku.
”Oh, iya. Ada satu piano lagi yang tidak dipakai,” Mitzy memberiku secercah harapan.
”Dimana?”
”Tapi ada di gudang belakang sekolah,” kata Mitzy. ”Kau yakin mau kesana?”
”Tidak masalah,” tanpa menghiraukannya lagi, aku berlari menuju gudang belakang sekolah.
Seharian aku menangis dengan bermain piano yang ada di dalam gudang belakang sekolah. Aku tak tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupanku yang selanjutnya, dengan seorang ibu yang semakin hari menjadi semakin aneh dan dengan seorang anak laki-laki yang akan menjadi ayahku.
Seseorang menyodorkan sebuah sapu tangan padaku.
Tanpa melihat siapa yang menyodorkannya, kuraih sapu tangan itu.
”Kenapa menangis disini seharian?” tanyanya.
Aku sangat terkejut saat mendongakkan kepalaku dan melihat orang yang telah menyodorkan sapu tangannnya padaku, yang ada di depanku saat ini. Nick.
”Ak... aku sedang ada masalah,” kataku singkat.
”Kalau kau mau, aku bersedia mendengarkan segala keluh kesahmu, agar bebanmu tidak kau tanggung sendirian,” katanya.
”Maaf, aku tidak terbiasa untuk menceritakan masalahku kepada orang lain,” kataku.
”Baiklah kalau begitu,” katanya. ”Tapi apakah aku boleh bermain piano bersamamu? Kurasa aku tahu lagu yang barusan kau mainkan.”
Aku mengangguk.
Untuk beberapa waktu lamanya kami memainkan lagu yang kumainkan sebelumnya. Sangat tidak terbayangkan betapa indahnya bermain piano bersama dengan sang pujaan hati gadis-gadis. Hal yang sangat kuinginkan ternyata terkabul tanpa bersusah payah.
”Aku bermasalah dengan ibuku,” aku mulai membuka pembicaraan setelah kami selesai memainkan lagu itu. ”Dia bersikap aneh dan semakin aneh dari hari ke hari. Rupanya ibuku berhubungan dengan seorang anak laki-laki yang jelas-jelas jauh lebih muda darinya. Dan aku tidak mau punya ayah yang muda!”
”Benarkah? Tapi apakah kau tidak pernah berpikir akan hal lain yang mungkin adalah penyebab ibumu melakukan hal itu?” Nick berusaha menghiburku.
”Entahlah. Tapi setahuku tidak ada hal lain yang menyebabkan ibuku melakukan hal itu,” kataku. ” Bagaimanapun juga, aku senang berada bersamamu. Dan terimakasih untuk menghiburku.”
”Kau tahu? Aku juga senang untuk berada di dekatmu seperti sekarang ini,” katanya. ”Kalau aku boleh jujur, sejak pertama aku bertemu denganmu, aku sudah jatuh cinta padamu.”
”Apa?” aku tak dapat mengeluarkan sepatah kata apapun setelah itu.
”Percayalah padaku,” Nick berusaha meyakinkan.
Hatiku berdebar-debar. Dan kurasa bunga-bunga mulai bermekaran lagi dalam hatiku.
”Kalau bisa, saat ini aku akan memintamu menjadi pacarku,” katanya. ”Tapi tidak bisa.”
Dug!! Bunga-bunga dalam hatiku berguguran lagi.
”Aku sudah punya janji dengan seorang ibu untuk mendampingi putrinya yang merasa kesepian setelah ayahnya meninggal,” lanjut Nick.
”Oh, begitu,” aku mengangguk-amgguk. ” Kalau begitu, kau harus menepati janjimu. Karena apapun itu, Tuhan sudah rencanakan yang terbaik untukmu. Juga untukku.”

”Hei apa yang terjadi di dalam sana? Kulihat Nick memegang tanganmu,” kata Mitzy yang ternyata berada di luar gedung dan menungguku. ”Apakah dia menyatakan cinta padamu?”
Aku mengangguk.
”Benarkan apa kataku? Aku yakin kau pasti akan menjadi pacar Nick,” kata Mitzy.
”Kau salah!” sahutku. ” Dia memang menyatakan cinta, tapi dia juga berkata kalau dia tidak bisa menjadi pacarku karena dia telah memiliki janji dengan seorang ibu untuk mendampingi putrinya.”
”Oh, maaf,” kata Mitzy seketika itu juga. Wajahnyapun memancarkan seolah dia dapat merasakan apa yang kurasakan.

0 comments:

Blessings - Laura Story

Popular Posts